UU No. 1/1974 tentang perkawinan yang dalam pasal 1 berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya dalam asal 2 dinyatakan : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”.
Dalam penjelasan atas pasal 1 disebutkan : “Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. Isu hak asasi manusia merupakan isu yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan dalam perkembangan peradaban manusia. Keberadaan negara tidak dapat dilepaskan dari salah satu ide dasar dan tujuannya, yaitu untuk melindungi hak dan kebebasan warga negara. Oleh karena itulah, salah satu substansi yang harus ada dalam konstitusi negara yang demokratis adalah jaminan perlindungan dan penegakan HAM, yang sekaligus berfungsi sebagai pembatasan terhadap kekuasaaan penyelenggara negara. Dinamika pemikiran dan penegakan HAM juga menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Reformasi merupakan salah satu momentum bangsa yang diwarnai oleh spirit perjuangan pemajuan dan penegakan HAM. Spirit tersebut lahir setelah terjadinya berbagai pelanggaran HAM berkepanjangan tanpa penyelesaian melalui proses hukum yang adil dan tidak memihak. Kebijakan dan praktik pelanggaran HAM yang terus-menerus terjadi telah melahirkan para pembela HAM (human rights deffenders) dan membangkitkan semangat dan bekerja konkrit untuk membela dan melindungi warga negara dari kekuasaan otoriter dan melanggar HAM. Pada akhirnya, perjuangan itu turut menjadi salah satu faktor penting berakhirnya era pemerintahan Orde Baru sekaligus munculnya era reformasi. Kita patut bersyukur bahwa agenda pemajuan dan penegakan HAM menjadi salah satu perhatian utama dan bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi pada awal munculnya era reformasi. Pada Sidang Istimewa MPR 1998 telah berhasil ditetapkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang dapat dikatakan sebagai Piagam HAM, melengkapi ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang pada saat itu belum diubah. Arti Perkawinan “Perkawinan” menurut istilah ilmu Fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “ziwaj”. (Kamal Mukhtar, 1974 : 1) “Nikah” menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Arti yang sebenarnya dari “nikah”, ialah “dham”, yang berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul”, sedang arti kiasannya ialah “watha” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti “mengadakan perjanjian pernikahan”. Dalam pernikahan bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang sebenarnya, bahkan “nikah” dalam arti yang sebenarnya jarang sekali dipakai pada saat ini.
B. Pandangan Agama-agama Tentang Perkawinan Beda Agama
1. Pandangan Agama Islam
Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221) Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
2. Pandangan Agama Katolik
Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan perkawinan tidak sah, yaitu perbedaan agama. Bagi Gereja Katholik menganggap bahwa perkawinan antar seseorang yang beragama katholik dengan orang yang bukan katholik, dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik dianggap tidak sah.Disamping itu, perkawinan antara seseorang yang beragama Katholik dengan orang yang bukan Katholik bukanlah merupakan perkawinan yang ideal. Hal ini dapat dimengerti karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen sedangkan agama lainnya (kecuali Hindu) tidak demikian karena itu Katholik menganjurkan agar pengahutnya kawin dengan orang yang beragama katholik.
3. Pandangan Agama Protestan
Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama, karena tujuan utama perkawinan untuk mencapai kebahagiaan sehingga akan sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman. Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragma Protestan dengan pihak yang menganut agama lain, menurut Pdt. Dr. Fridolin Ukur, maka: Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing. Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus. Pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka. Ada gereja-gereja tertentu yang memberkati perkawinan campur ini beda agama ini, setelah pihak yang bukan protestan membuat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan. Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suami atau isteri yang beriman. Ada pula gereja tertentu yang bukan hanya tidak memberkati, malah anggota gereja yang kawin dengan orang yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja.
4. Pandangan Agama Hindu
Perkawinan orang yang beragama Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan. Menurut Dde Pudja, MA (1975:53), suatu perkawinan batal karena tidak memenuhi syarat bila perkawinan itu dilakukan menurut Hukum Hindu tetapi tidak memenuhi syarat untuk pengesahannya, misalnya mereka tidak menganut agama yang sama pada saat upacara perkawinan itu dilakukan, atau dalam hal perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan menurut hukum agama Hindu. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mensahkan suatu perkawinan menurut agama Hindu, harus dilakukan oleh Pedande/Pendeta yang memenuhi syarat untuk itu. Di samping itu tampak bahwa dalam hukum perkawinan Hindu tidak dibenarkan adanya perkawinan antar penganut agama Hindu dan bukan Hindu yang disahkan oleh Pedande. Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan antar agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan, hal ini melanggar ketentuan dalam Seloka V89 kitab Manawadharmasastra, yang berbunyi: Air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggaal bunuh diri. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama dimana salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak boleh dan pendande/Pendeta akan menolak untuk mengesahkan perkawinan tersebut.
5. Pandangan Agama Budha
Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajidkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha. Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua mempelai diwajibkan untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi praktek perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha akan merasa keberatan.
Konsep ham bukanlah konsep yang seliberal sepeti yang selama ini didengungkan. HAM bukanlah sistem yang universal. Ham akan berbenturan kepada sebuah negara dengan ideologi , agama, dan rasa kebudayaan yang berbeda-beda. Ibarat Air yang tercampur dengan rasa asin, manis, dan pahit. Yang nantinya akan ditumpahkan ke dalam sebuah gelas. Dan gelas tersbut adalah negara. Gelas itu telah ada campuran sebelumnya, dan akan dicampur dengan air ham tersbut.
Dalam hal ini saya perlu sedikit menjelaskan tentang perbedaan pemahaman tentang kebolehan perkawinan beda agama dalam masing-masing ajaran agama.Tidak ada satupun agama yg terakui di Indonesia mengakui atau melegalkan perkawinan beda agama.
C. PERMASALAHAN BEDA PENDAPAT DALAM ISLAM MENIKAHI WANITA MUHSHANAT DARI KALANGAN AHLI KITAB
Ketika bolehnya menikahi wanita Ahli Kitab yang Muahshanah ‘yang menjaga diri’ dan kehormatannya sudah tsabat ‘kuat’, lalu yang lebih utama hendaknya tidak menikahi wanita kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) karerna Umar berkata kepada para shabat yang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, “Talaklah mereka.” Kemudian, mereka pun mentalaknya, kecuali Hudzaifah. Lalu Umar berkata kepadanya (Hudzaifah), “Talaklah.” Dia (Hudzaifah) berkata, “Anda bersaksi bahwa dia (wanita kitabiyah) itu haram ?”
Umar berkata, “Dia itu jamrah ‘batu bara aktif’, maka talaklah dia.”
(Hudzaifah) berkata, “Anda bersaksi bahwa dia (wanita kitabiyah) itu haram ?”
umar berkata, “Dia itu jamrah.”
Hudzaifah berkata, “Saya telah mengerti bahwa dia itu jamrah, tetapi dia bagiku halal.” Oleh karena itu, ketika Hudzaifah menalak wanita kitabiyah itu, ia ditanya, “Kenapa kamu tidak menalaknya ketika disuruh umar ?”
Huzaifah berkata, “Aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa aku berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya bagiku. Dan kerena barangkali hati Umar cendrung kepadanya (wanita kitabiyah itu), lalu dia (wanita kitabiyah itu) memfitnah atau menguji Umar. Dan barangkali di antara keduanya ada anak, maka cendrung kepada wanita kitabiyah.”.
Syi’ah Imamiyah mengharamkan (menikahi wanita Ahli Kitab) dengan firman-Nya; “ …dan janganlah menikahi wanita musyrikat sehingga mereka beriman.” (2:221) Dan ayat; “ Dan jaganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (al-mumtahanah : 10).
KESIMPULANNYA ADALAH
PERNIKAHAN / PERKAWINAN BEDA AGAMA ADALAH TIDAK BOLEH / HARAM BAIK MENURUT HUKUM AGAMA MAUPUN HUKUM KONSTITUSI DI NEGARA KITA DAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA INI JIKA DISAHKAN AKAN MELANGGAR:
BABXI
AGAMA
Pasal 29
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Karena berarti umat beragama yang ada di Indonesia tidak bisa beribadah sesuai konsep dan hukum agamanya sehingga saya berpendapat hal ini MALAHAN MELANGGAR HAM DALAM BERAGAMA. Wllohu'alam
PROPOSAL / REKOMENDASI / SARAN DARI SAYA:
- Sebagai manusia alangkah baiknya jika kita mengutamakan dan mentaati hukum agama. Karena agama kita telah melaragnya maka sudah menjadi kewajiban kita untuk tidak menikahi wanita beda agama.
- Negara sebagai pemberi kesejahteraan saya harapkan mau menghargai apa yang telah termaktub dalam KITAB SUCI agama yaitu PERKAWINAN BEDA AGAMA JANGAN DI SAHKAN DALAM UNDANG-UNDANG
- Kalau Agama saja kita khiyanati, kita acuhkan peraturannya maka BAGAIMANA DENGAN ISTRI KITA KELAK. Maka taatilah hukum agam, jadilah umat yang budiman maka insyaalloh kitapun akan menjadi SUAMI YANG BUDIMAN. Insyaalloh
- Pelarangan Perkawinan Beda agama dipertegas dengan menaruh klausul “ TERMASUK BEDA AGAMA DAN KEPERCAYAAN “ di pasal 57 UU no 1 tahun 1974.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar