Sabtu, 03 Desember 2011

MENJADI KIAI YANG NASIONALIS DAN BERJIWA "PANCASILA"

Kiai saya ibaratkan GURU BESARNYA pesantren. Yang  dita'dzimi dihormati dikalangan para kaum santri maupun masayarakat luas. Bila Hadlratussyeikh KH. M Hasyim Asy’ari (kelahiran 1871), KH. Abdul Wahab Hasbullah (kelahiran 1888), KH Bishri Sansuri (kelahiran 1886), dan kyai-kyai seangkatan mereka pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, kita sebut generasi NU angkatan pertama, maka generasi berikutnya–katakanlah generasi kedua—merupakan generasi penerus yang benar-benar pewaris sikap dan perjuangan para pendahulunya. Angkatan kedua ini paling tidak mewarisi keikhlasan sikap dan perjuangan angkatan sebelumnya. Pemahaman yang dalam dan kekokohan memegang ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah sekaligus kecintaan kepada tanah air Indonesia. (KH Muhammad Dahlan Kebondalem, salah seorang pendiri NU berkata,“Berdirinya NU adalah untuk menegakkan syariat Islam menurut ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah dan mengajak bangsa ini untuk cinta kepada tanah airnya.”)
Generasi kyai NU pertama yang mencontohkan dan mengajarkan patriotisme; benar-benar berhasil mencetak generasi penerus yang tidak hanya menguasai ilmu dan mengamalkan akhlak luhur Islam, tapi juga patriot-patriot bangsa teladan. Pemimpin-pemimpin Islam yang memiliki jiwa keindonesiaan dan kebangsaan yang tinggi. Sebagaimana generasi sebelumnya, generasi angkatan kedua ini belajar ilmu Islam dari sumber-sumbernya dan dari guru-guru yang memiliki kesinambungan ilmiah dari guru ke guru. Dan sebagaimana generasi sebelumnya, merasakan pahit-getirnya perjuangan membela tanah air melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Generasi kedua ini umumnya--baik langsung atau tidak--merupakan santri-santri Hadlratussyeikh KHM Hasyim Asy’ari yang menjadi kebanggaan Indonesia. Beberapa diantaranya bahkan pernah beberapa kali dipercaya menjadi menteri Agama republik ini, yaitu KH Masykur (kelahiran 1902); KH.M. Dachlan (kelahiran 1909); KH Muhammad Ilyas (kelahiran 1911); KH. A. Wahid Hasyim (kelahiran 1914); KHA. Wahib Wahab (1918); dan KH. Saifuddin Zuhri (kelahiran 1919).
KH. Muhammad Ilyas, justru merupakan santri kesayangan dan kepercayaan Hadlratussyeikh yang dalam usia 18 tahun sudah dijadikan Lurah Pondok Pesantren Tebuireng. KH. M. Ilyas tidak hanya disayangi dan dipercaya oleh Hadratussyeikh, tapi bahkan tampaknya juga diserahi “membimbing” atau setidaknya menjadi kawan belajar dan berjuang putra beliau, adik sepupu KH. M Ilyas sendiri, KHA. Wahid Hasyim. Hal itu terlihat dari kedekatan dan kebersamaan kedua tokoh kesayangan tersebut, sejak bersama-sama ngaji di Tebuireng, mondok di Pesantren Siwalan Panji, belajar ke Mekkah, melakukan pembaharuan pendidikan di pesantren, hingga bersama-sama berjuang dan berkhidmah untuk Indonesia. Ini semua tentulah tidak terlepas dari pengarahan guru besar mereka, Mahakyai Muhammad Hasyim Asy’ari.
Meski keduanya mengaji Islam melalui bahasa Arab dan pernah belajar di Arab (Mereka ke Mekkah tahun 1932, KHA. Wahid Hasyim kembali ke Indonesia tahun 1933 dan KHM. Ilyas tahun 1935) dan menguasai bahasa al-Quran seperti pemilik bahasa itu sendiri, namun sedikit pun mereka tidak kehilangan ke-Indonesia-an mereka. Bahkan, ketika mereka berada di luar negeri, perhatian mereka terhadap Indonesia dan bangsanya sama sekali tidak mengendur.
Bandingkan dengan mereka yang sebentar saja keluar negeri–bahasa negeri singgahan mereka pun belum sebenarnya mereka kuasai--tiba-tiba sikap mereka seperti orang asing di negeri sendiri. Padahal, mereka dibesarkan dan masih hidup di tanah air mereka. Masih makan hasil bumi dan minum air tanah airnya sendiri. Sehebat apapun kita, maka jangan lupakan darimana kita lahir dan ada.

BELAJAR ILMU FAROIDL DENGAN CEPAT DAN MUDAH

Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan.
Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan. Dengan adanya system pembagian harta warisan tersebut menunjukan bahwa islam adalah agama yang tertertib,teratur dan damai. Pihak-pihak yang berhak menerima warisan dan cara pembagiannya itulah yang perlu kita pelajari pada bab ini.
Pengertian Mawaris
            Kata mawaris berasal dari kata waris ( bahasa arab ) yang berarti mempusakai harta orang yang sudah meninggal, atau membagi-bagikan harta peninggalan orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hak untuk mendapat bagian dari harta peninggalan orang yang telah meninggal. Ahli waris dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan ( lihat QS:Al - baqarah : 188 ). Karena sensitif atau rawannya masalah harta warisan itu, maka dalam agama islam ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang warisan dan perhitungannya. Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.
            Ahli waris adalah orang yang berhak menerima warisan sebagaimana yang telah ditetapkan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
            ”Bagi orang yang laki-laki ada hak dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya.baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”( QS. An Nissa:7 )
            Dari hadits Rasulullah saw, ada yang menerangkan bagian warisan untuk saudara perempuan yang lebih dua orang, bagian nenek dari bapak dan dari ibu serta bagian cucu perempuan dari anak laki - laki dan lain-lain.
            Zaid bin sabit adalah sahabat Rasulullah saw.dari kalangan Anshar yang berasal dari suku khajraj. Ia lahir di madinah tahun 11 SH/611M. Ia masuk islam pada tahun pertama hijriyah dan menjadi sekretaris Rasulullah saw. Untuk menulis wahyu yang turun, menulis surat - surat untuk pembesar kaum yahudi serta menjadi penyusun mushaf di masa khalifah Abu Bakar As Siddiq. Ia dikenal sangat ahli dalam ilmu Al Qur’an, tafsir, hadits dan khususnya faraid sehingga dijuluki Ulama masyarakat. Pada masa khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, ia menjabat sebagai mufti ( ahli fatwa ) yang paling berpengaruh dalam bidang faraid, bahwa Rasulullah sendiri pernah bersabda, ”Yang paling ahli dalam ilmu faraid di antara kalian adaah Zaid bin Sabit.”( HR.Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal ). Zaid bin Sabit wafat di Madinah pada tahun 45H/665M.
            Zawil Furud adalah ahli waris yang perolehan harta warisannya sudah ditentukan oleh dalil Al Quran dan Hadits (lihat QS.An Nissa:11, 12, dan 176). Dari ayat Al Qur’an tersebut, dapat diuraikan orang yang mendapat seperdua, seperempat, dan seterusnya.
  1. Ahli waris yang mendapa 1/2 , yaitu sebagai berikut:
            1). Anak pempuan tunggal
            2). Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki
            3). Saudara perempuan tunggal yang sekandung
            4). Saudara perempuan tunggal yang sebapak apabila saudara perempuan yang                   sekandung tidak ada
            5). Suami apabila istrinya tidak mempunyai anak, atau cucu (laki-laki ataupun         perempuan) dari anak laki-laki
  1. Ahli waris yang mendapat 1/4, yaitu sebagai berikut:
            1). Suami apabila istrinya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
            2). Istri ( seorang atau lebih ) apabila suaminya tidak mempunyai anak atau cucu dari         anak laki-laki
  1. Ahli waris yang mendapat 1/8, yaitu istri ( seorang atau lebih ) apabila suami mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
  2. Ahli waris yang mendapat 2/3, yaitu sebagai berikut: .
1.Dua orang anak perempuan atau lebih apabila tidak ada anak laki-laki ( menurut sebagian besar ulama )
2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki apabila anak perempuan tidak ada ( diqiyaskan kepada anak perempuan )
3. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung ( seibu sebapak )
4. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak
  1. Ahli waris yang mendapat 1/3, yaitu sebagai berikut
            1. Ibu, apabila anaknya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu, atau dia tidak   saudara - saudara ( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang sebapak atau yang            seibu
            2. Dua orang atau lebih ( laki-laki atau perempuan ) yang seibu apabila tidak ada anak        atau cucu atau anak
  1. Ahli waris yang mendapat 1/6, yaitu sebagai berikut:
            1. Ibu, apabila anaknya yang meninggal itu mempunyai cucu ( dari anak laki-laki ) atau      mempunyai saudara-saudara( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang sebapak            atau seibu
            2. Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( laki-laki atau        perempu an ) dari anak laki-laki
            3). Nenek ( ibu dari ibu atau ibu dari bapak ). Nenek mendapat 1/6 apabila ibu tidak ada.   Jika nenek dari bapak atau ibu masih ada, maka keduanya mendapat bagian yang sama       dari bagian yang 1/6 itu
            4). Cucu perempuan ( seorang atau lebih ) dari laki-laki apabila orang yang meninggal        mempunyai anak tunggal. Akan tetapi, apabila anak perempuan lebih dari seorang, maka       cucu perempuan tidak mendapat apa-apa
            5). Kakek apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu (dari anak laki-laki),   sedangkan bapaknya tidak ada
            6). Seorang saudara ( laki-laki atu perempuan ) yang seibu
            7). Saudara perempuan yang sebapak ( seorang atau lebih ) apabila saudaranya yang           meninggal itu mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Ketentuan pembagian     seperti itu dimaksudkan untuk menggenapi jumlah bagian saudara kandung dan saudara     sebapak menjadi 2/3 bagian. Apabila saudara kandungnya ada dua orang atau lebih, maka saudara sebapak tidak mendapat bagian
Batalnya Hak Menerima Waris
Sekalipun berhak menerima waris yang seseorang meninggal dunia, tetapi hak itu dapat batal karena hal - hal berikut ini.
                  1. Tidak beragama islam. Hukum islam hanya untuk umat islam, maka seorang bapak         yang tidak beragama islam tidak mewarisi harta anaknya yang beragama islam, demikian         juga sebaliknya
                  2. Murtad dari agama islam. Sekalipun mulanya beragama islam, tetapi kemudian pindah   agama lain, maka ia tidak berhak lagi mempusakai harta keluarganya yang beragama   islam
                  3. Membunuh. Orang yang membunuh tidak berhak mendapat harta waris dari orang         yang dibunuhnya sebagaimana sabda Rasulullah.,”Tidaklah si pembunuh mewarisi harta         orang yang dibunuhnya,sedikitpun. “( HR.Ahli Hadits )
                  4. Menjadi hamba. Seseorang yang menjadi hamba orang lain tidak berhak menerima         harta waris dari keluarganya karena harta harta tersebut akan jatuh pula ketangan orang       yang menjadi majikannya ( lihat QS.An Nahl:75 )
Ketentuan Tentang Harta Sebelum Pembagian Warisan
Pada saat jenazah telah dimakamkan, sebelum dilaksanakan pembagian warisan, pihak keluarga atau ahli waris terlebih dulu harus menyelesaikan beberapa hal yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan, yaitu sebagai berikut:
                  1. Zakat, apabila telah sampai saatnya untuk mengeluarkan zakat harta, maka harta            peninggalan dikeluarkan untuk zakat mal terlebih dahulu atau zakat fitrah
                  2. Hutang, apabila si jenazah meninggalkan hutang, maka hutang itu harus dibayar lebih    dulu
                  3. Biaya perawatan, yaitu pembelanjaan yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan dan       pengurusan jenazah seperti membeli kain kafan dan biaya penguburan hingga si jenazah            selesai dimakamkan
                  4. Membayar wasiat, apabila sebelum meninggal ia berwasiat, maka harus dibayarkan        lebih dulu, asalkan tidak melebihi⅓ harta peninggalan. Berwasiat tidak dibenarkan       kepada ahli waris karena mereka telah mendapat bagian dari harta warisan yang akan   ditinggalkannya. Lain halnya semua ahli waris setuju bahwa sebagian dari harta             peninggalan itu boleh di wasiatkan kepada seseorang di antara mereka
                  5. Memenuhi nazar jenazah ketika masih hidup dan belum sempat dilaksanakan.     Misalnya, nazar untuk mewakafkan sebidang tanahnya, dan nazar untuk ibadah haji.
            Apabila semua hak yang tersebut di atas telah di selesaikan semuanya, maka harta warisan yang masih ada dapat dibagi - bagikan kepada ahli waris yang berhak           menerimanya.
Perhitungan Dalam Pembagian Warisan
            Jika seseorang meninggal dunia, kemudian ada ahli waris yang mendapat 1/6 bagian, dan seorang lagi mendapat 1/4 bagian, maka pertama - tama harus dicari KPK ( kelipatan persekutuan terkecil ) dari pembilang 6 dan 4, yaitu bilangan 12. Didalam ilmu faraid, KPK disebut asal masalah.
Asal masalah dalam ilmu faraid ada 7 macam, yaitu 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan 24.
Contoh kasus 1.
Ada seseorang perempuan meninggal dunia, ahli warisnya adalah bapak, ibu, suami, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Harta peninggalannya sebanyak Rp 1.800.000. Berapakah bagian masing - masing ahli waris?
Bapak = 1/6 ( karena ada anak laki-laki )
Ibu = 1/6 ( karena ada anak )
Suami = 1/4 ( karena ada anak )
Anak = Asabah ( karena ada anak laki-laki dan perempuan )
Asal masalah (KPK) = 12
Bapak = 1/6 * 12 = 2
Ibu = 1/6 * 12 = 2
Suami = 1/4 * 12 = 3
Jumlah = 7
Sisa ( bagian anak ) = 12 – 7 = 5
Bagian bapak = 2/12*Rp 1.800.000 = Rp 300.000
Bagian ibu = 2/12*Rp 1.800.000 = Rp 300.000
Bagian suami = 3/12*Rp 1.800.000 = Rp 450.000
Bagian anak = 5/12*Rp 1.800.000 = Rp 750.000
Untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan sehingga dua anak laki-laki mendapat empat bagian dan seorang anak perempuan mendapat satu bagian. Harga warisan sisanya dibagi lima(5).
Bagian seorang anak laki-laki =2/5 * Rp750.000 = Rp300.000
Bagian seorang anak perempuan =1/5 * Rp750.000 = Rp150.000
Didalam praktek pelaksanaan pembagian harta warisan, sering di jumpai kasus kelebihan atau kekurangan harta sehingga pembagian harta waris memerlukan metode perhitungan yang tepat.
Sebagaimana contoh 1, sebelum memulai pembagian harta warisan, lebih dulu harus ditetapkan angka asal masalah, yaitu mencari angka ( kelipatan persekutuan ) terkecil yang dapat dibagi oleh masing-masing angka penyebut dari bagian ahli waris guna memudahkan dalam operasional hitungan. Misalnya bagian ahli waris 1/2 dan 1/3, angka asal masalahnya ( KPK ) adalah 6 karena 6 dapat dibagi 2 dan 3 ( penyebutnya ). Bagian ahli waris 1/4, 2/3, 1/6, 1/4 angka asal masalahnya adalah 12 karena angka 12 dapat dibagi 2, 3, dan 6. Bagian ahli waris 1/8 dan 2/3, angka masalahnya 24 karena angka 24 dapat dibagi 8 dan 3. Demikian seterusnya.
Hikmah Mawaris
Beberapa hikmah yang dapat diambil dari pengaturan waris menurut islam antara lain sebagai berikut:
      1. Dengan adanya ketentuan waris itu disamping akan membawa keteraturan dan ketertiban dalam hal harta benda, juga untuk memelihara harta benda dari satu generasi ke generasi lain.
      2. Dapat menegakan nilai-nilai perikemanusiaan, kebersamaan, dan demokratis di antara manusia, khususnya dalam soal yang menyangkut harta benda.
      3. Dengan mempelajari ilmu waris berarti seorang muslim telah ikut memelihara dan melaksakan ketentuan-ketentuan dari Allah swt. Yang terdapat dalam Al Qur’an.
      4. Menghindarkan perpecahan antar keluarga yang disebabkan oleh pembagian harta warisan yang tidak adil. Mengalirkan harta peninggalan kepada yang lebih bermanfa’at agar lebih terjaminnya kesejahteraan keluarga secara merata.
      5. Memelihara harta peninggalan dengan baik sehingga harta itu menjadi amal jariah bagi si jenazah.
      6. Memperhatikan anak yatim karena dengan harta yang di tinggalkan oleh orang tuanya kehidupan anak - anak yang di tinggalkan itu akan lebih terjamin.
      7. Dengan pembagian yang merata sesuai dengan syariat, maka masing-masing anggota keluarga akan merasakan suatu kepuasan sehingga dapat hidup dengan tentram.
      8. Dengan mengetahui ilmu mawaris, maka setiap anggota keluarga akan memahami hak-hak dirinya dan hak-hak orang lain, sehingga tidak akan terjadi perebutan terhadap harta warisan tersebut.

Sumber Materi:
1. Buletin Fosmi FH UNS
2. Kitab Uddaul Faridl ala Imam Said bin Said An Nabhan
3. Kitab Rohabiyyah
4. Materi Kuliah Hukum Keluarga dan Kehartaan Islam Fakultas Hukum UNS

"KAWIN BEDA AGAMA" dilihat dari PERSPEKTIF AGAMA DAN KONSTITUSI NEGARA

A. PENGANTAR 
UU No. 1/1974 tentang perkawinan yang dalam pasal 1 berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya dalam asal 2 dinyatakan : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”. 

Dalam penjelasan atas pasal 1 disebutkan : “Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.  Isu hak asasi manusia merupakan isu yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan dalam perkembangan peradaban manusia. Keberadaan negara tidak dapat dilepaskan dari salah satu ide dasar dan tujuannya, yaitu untuk melindungi hak dan kebebasan warga negara. Oleh karena itulah, salah satu substansi yang harus ada dalam konstitusi negara yang demokratis adalah jaminan perlindungan dan penegakan HAM, yang sekaligus berfungsi sebagai pembatasan terhadap kekuasaaan penyelenggara negara. Dinamika pemikiran dan penegakan HAM juga menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Reformasi merupakan salah satu momentum bangsa yang diwarnai oleh spirit perjuangan pemajuan dan penegakan HAM. Spirit tersebut lahir setelah terjadinya berbagai pelanggaran HAM berkepanjangan tanpa penyelesaian melalui proses hukum yang adil dan tidak memihak. Kebijakan dan praktik pelanggaran HAM yang terus-menerus terjadi telah melahirkan para pembela HAM (human rights deffenders) dan membangkitkan semangat dan bekerja konkrit untuk membela dan melindungi warga negara dari kekuasaan otoriter dan melanggar HAM. Pada akhirnya, perjuangan itu turut menjadi salah satu faktor penting berakhirnya era pemerintahan Orde Baru sekaligus munculnya era reformasi. Kita patut bersyukur bahwa agenda pemajuan dan penegakan HAM menjadi salah satu perhatian utama dan bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi pada awal munculnya era reformasi. Pada Sidang Istimewa MPR 1998 telah berhasil ditetapkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang dapat dikatakan sebagai Piagam HAM, melengkapi ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang pada saat itu belum diubah. Arti Perkawinan “Perkawinan” menurut istilah ilmu Fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “ziwaj”. (Kamal Mukhtar, 1974 : 1) “Nikah” menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Arti yang sebenarnya dari “nikah”, ialah “dham”, yang berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul”, sedang arti kiasannya ialah “watha” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti “mengadakan perjanjian pernikahan”. Dalam pernikahan bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang sebenarnya, bahkan “nikah” dalam arti yang sebenarnya jarang sekali dipakai pada saat ini.  

B. Pandangan Agama-agama Tentang Perkawinan Beda Agama
1. Pandangan Agama Islam
Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221) Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
2. Pandangan Agama Katolik
Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan perkawinan tidak sah, yaitu perbedaan agama. Bagi Gereja Katholik menganggap bahwa perkawinan antar seseorang yang beragama katholik dengan orang yang bukan katholik, dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik dianggap tidak sah.Disamping itu, perkawinan antara seseorang yang beragama Katholik dengan orang yang bukan Katholik bukanlah merupakan perkawinan yang ideal. Hal ini dapat dimengerti karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen sedangkan agama lainnya (kecuali Hindu) tidak demikian karena itu Katholik menganjurkan agar pengahutnya kawin dengan orang yang beragama katholik. 
3. Pandangan Agama Protestan
Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama, karena tujuan utama perkawinan untuk mencapai kebahagiaan sehingga akan sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman. Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragma Protestan dengan pihak yang menganut agama lain, menurut Pdt. Dr. Fridolin Ukur, maka: Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing. Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus. Pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka. Ada gereja-gereja tertentu yang memberkati perkawinan campur ini beda agama ini, setelah pihak yang bukan protestan membuat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan. Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suami atau isteri yang beriman. Ada pula gereja tertentu yang bukan hanya tidak memberkati, malah anggota gereja yang kawin dengan orang yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja.
4. Pandangan Agama Hindu
Perkawinan orang yang beragama Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan. Menurut Dde Pudja, MA (1975:53), suatu perkawinan batal karena tidak memenuhi syarat bila perkawinan itu dilakukan menurut Hukum Hindu tetapi tidak memenuhi syarat untuk pengesahannya, misalnya mereka tidak menganut agama yang sama pada saat upacara perkawinan itu dilakukan, atau dalam hal perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan menurut hukum agama Hindu. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mensahkan suatu perkawinan menurut agama Hindu, harus dilakukan oleh Pedande/Pendeta yang memenuhi syarat untuk itu. Di samping itu tampak bahwa dalam hukum perkawinan Hindu tidak dibenarkan adanya perkawinan antar penganut agama Hindu dan bukan Hindu yang disahkan oleh Pedande. Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan antar agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan, hal ini melanggar ketentuan dalam Seloka V89 kitab Manawadharmasastra, yang berbunyi: Air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggaal bunuh diri. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama dimana salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak boleh dan pendande/Pendeta akan menolak untuk mengesahkan perkawinan tersebut.
5. Pandangan Agama Budha
Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajidkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha. Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua mempelai diwajibkan untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi praktek perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha akan merasa keberatan.

Konsep ham bukanlah konsep yang seliberal sepeti yang selama ini didengungkan. HAM bukanlah sistem yang universal. Ham akan berbenturan kepada sebuah negara dengan ideologi , agama, dan rasa kebudayaan yang berbeda-beda. Ibarat Air yang tercampur dengan rasa asin, manis, dan pahit. Yang nantinya akan ditumpahkan ke dalam sebuah gelas. Dan gelas tersbut adalah negara. Gelas itu telah ada campuran sebelumnya, dan akan dicampur dengan air ham tersbut.
Dalam hal ini saya perlu sedikit menjelaskan tentang perbedaan pemahaman tentang kebolehan perkawinan beda agama dalam masing-masing ajaran agama.Tidak ada satupun agama yg terakui di Indonesia mengakui atau melegalkan perkawinan beda agama.

C. PERMASALAHAN BEDA PENDAPAT DALAM ISLAM MENIKAHI WANITA MUHSHANAT DARI KALANGAN AHLI KITAB
Ketika bolehnya menikahi wanita Ahli Kitab yang Muahshanah ‘yang menjaga diri’ dan kehormatannya sudah tsabat ‘kuat’, lalu yang lebih utama hendaknya tidak menikahi wanita kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) karerna Umar berkata kepada para shabat yang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, “Talaklah mereka.” Kemudian, mereka pun mentalaknya, kecuali Hudzaifah. Lalu Umar berkata kepadanya (Hudzaifah), “Talaklah.” Dia (Hudzaifah) berkata, “Anda bersaksi bahwa dia (wanita kitabiyah) itu haram ?”
Umar berkata, “Dia itu jamrah ‘batu bara aktif’, maka talaklah dia.”
(Hudzaifah) berkata, “Anda bersaksi bahwa dia (wanita kitabiyah) itu haram ?”
umar berkata, “Dia itu jamrah.”
Hudzaifah berkata, “Saya telah mengerti bahwa dia itu jamrah, tetapi dia bagiku halal.” Oleh karena itu, ketika Hudzaifah menalak wanita kitabiyah itu, ia ditanya, “Kenapa kamu tidak menalaknya ketika disuruh umar ?”
Huzaifah berkata, “Aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa aku berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya bagiku. Dan kerena barangkali hati Umar cendrung kepadanya (wanita kitabiyah itu), lalu dia (wanita kitabiyah itu) memfitnah atau menguji Umar. Dan barangkali di antara keduanya ada anak, maka cendrung kepada wanita kitabiyah.”.
Syi’ah Imamiyah mengharamkan (menikahi wanita Ahli Kitab) dengan firman-Nya; “ …dan janganlah menikahi wanita musyrikat sehingga mereka beriman.” (2:221) Dan ayat; “ Dan jaganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (al-mumtahanah : 10).


KESIMPULANNYA ADALAH

PERNIKAHAN / PERKAWINAN BEDA AGAMA ADALAH TIDAK BOLEH / HARAM BAIK MENURUT HUKUM AGAMA MAUPUN HUKUM KONSTITUSI DI NEGARA KITA DAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA INI JIKA DISAHKAN AKAN MELANGGAR:


BABXI
AGAMA
Pasal 29
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Karena berarti umat beragama yang ada di Indonesia tidak bisa beribadah sesuai konsep dan hukum agamanya sehingga saya berpendapat hal ini MALAHAN MELANGGAR HAM DALAM BERAGAMA. Wllohu'alam

PROPOSAL / REKOMENDASI / SARAN DARI SAYA:
  1. Sebagai manusia alangkah baiknya jika kita mengutamakan dan mentaati hukum agama. Karena agama kita telah melaragnya maka sudah menjadi kewajiban kita untuk tidak menikahi wanita beda agama.
  2. Negara sebagai pemberi kesejahteraan saya harapkan mau menghargai apa yang telah termaktub dalam KITAB SUCI agama yaitu PERKAWINAN BEDA AGAMA JANGAN DI SAHKAN DALAM UNDANG-UNDANG
  3. Kalau Agama saja kita khiyanati, kita acuhkan peraturannya maka BAGAIMANA DENGAN ISTRI KITA KELAK. Maka taatilah hukum agam, jadilah umat yang budiman maka insyaalloh kitapun akan menjadi SUAMI YANG BUDIMAN. Insyaalloh
  4. Pelarangan Perkawinan Beda agama dipertegas dengan menaruh klausul “ TERMASUK BEDA AGAMA DAN KEPERCAYAAN “ di pasal 57 UU no 1 tahun 1974.